Breaking News

Makna “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Kajian Filosofis Hukum

         Viski Umar Hajir Nasution, SH., MH.


Penulis : Viski Umar Hajir Nasution, SH., MH. NIM : 258101012, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Pada Universitas Sumatera Utara. Dalam memenuhi Tugas Filsafat Hukum.

Globalonenews my.id - Frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan kalimat pembuka (klausul imperatif) yang tercantum dalam setiap putusan pengadilan di Indonesia. Kalimat ini bukan sekadar formula yuridis, tetapi memiliki makna filosofis yang sangat dalam karena mencerminkan fondasi negara hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila, khususnya sila pertama.
Dalam kajian filosofis hukum, frasa tersebut memberi legitimasi moral, etis, dan spiritual bagi putusan hakim. Dengan kata lain, putusan pengadilan tidak hanya berlaku secara legal, tetapi juga bernilai secara moral dan berkeadilan menurut nilai-nilai Ketuhanan.
1. Landasan Filosofis: Keadilan sebagai Nilai Transendental
Dalam filsafat hukum, keadilan dapat dipahami melalui tiga pendekatan besar:
 Keadilan sebagai harmoni (Plato)
 Keadilan sebagai kesetaraan dan proporsionalitas (Aristoteles)
 Keadilan sebagai hak moral yang melekat (Kant & pemikir modern)
Frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menempatkan konsep keadilan bukan sekadar pada level rasional seperti yang dimaksud Kant, bukan hanya legal seperti dalam positivisme hukum, tetapi melampaui itu—yaitu sebagai nilai transendental yang berpaut pada moralitas tertinggi, yakni Ketuhanan.
Artinya, keadilan yang dicari oleh pengadilan Indonesia bukan hanya keadilan prosedural dan formal, tetapi juga:
 keadilan substantif,
 keadilan moral, dan
 keadilan spiritual.
2. Dimensi Teologis: Ketuhanan sebagai Sumber Moralitas
Dalam kajian filosofis, Ketuhanan dipahami sebagai sumber nilai moral tertinggi. Dengan mencantumkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, negara menegaskan bahwa:
 Putusan hakim harus selaras dengan nilai moral universal.
 Kebenaran hukum yang diputuskan tidak boleh bertentangan dengan ajaran etika ketuhanan yang dianut bangsa Indonesia.
 Hakim memiliki tanggung jawab moral dan spiritual dalam menjatuhkan putusan.
putusan Ini mengandung beberapa implikasi filosofis:
a. Hakim sebagai penjaga moralitas
Hakim tidak hanya menegakkan hukum tertulis (positif), tetapi juga menegakkan nilai moral yang dipandang luhur oleh masyarakat berketuhanan.
b. Putusan harus sesuai dengan hati nurani
Ketuhanan menjadi sumber etika batin hakim. Sehingga walaupun undang-undang tidak lengkap, hakim tetap memiliki dasar moral untuk menegakkan keadilan.
c. Hukum tidak dapat dipisahkan dari moral
Ini menolak pandangan positivis absolut yang memisahkan hukum dari moralitas. Dalam tradisi hukum Pancasila, keduanya saling berjalin.
3. Dimensi Yuridis: Legitimasi Spiritual Putusan Hakim
Secara yuridis, frasa tersebut memiliki makna bahwa:
 Putusan hakim memiliki kekuatan memaksa (imperatif),
 Putusan tersebut tidak hanya “sah” secara hukum, tetapi “benar” secara moral,
 Hakim bertanggung jawab kepada hukum, bangsa, dan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam filsafat hukum Hans Kelsen, validitas hukum bersumber dari norma dasar (grundnorm). Dalam konteks Indonesia, sila pertama Pancasila dapat dipahami sebagai grundnorm ideologis, yang memberi legitimasi tertinggi bagi seluruh struktur hukum Indonesia.
Dengan demikian Putusan hakim bukan hanya perintah negara, melainkan bagian dari pelaksanaan nilai dasar Pancasila sebagai norma tertinggi.
4. Dimensi Etis: Tanggung Jawab Hakim secara Moral
Hakim dalam perspektif filsafat hukum memiliki tiga tanggung jawab:
 Tanggung jawab yuridis (kepada hukum positif)
 Tanggung jawab sosial (kepada masyarakat)
 Tanggung jawab moral-spiritual (kepada Tuhan)
Frasa “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mempertegas bahwa tanggung jawab moral-spiritual hakim adalah esensial. Hakim tidak boleh memutus perkara dengan korupsi, menyalahgunakan kewenangan, memutus tanpa mempertimbangkan rasa keadilan, mengabaikan suara hati (conscience). Karena ia bertanggung jawab tidak hanya pada dunia, tetapi juga secara etis transenden.
5. Hubungan dengan Pancasila sebagai Filsafat Hukum Indonesia
Dalam filsafat hukum Pancasila, hukum selalu mengandung unsur yuridis, sosiologis, moral-religius.
Sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) menjadi dasar moral yang menjiwai seluruh sistem hukum Indonesia. Relasi sila pertama dengan putusan hakim mengandung makna bahwa hukum harus humanis, hukum harus bermoral, hukum harus memperlakukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, penghukuman harus dilakukan secara adil dan beradab. Ini menegaskan bahwa hukum Indonesia adalah hukum yang berkarakter religius-humanistik, bukan sekadar hukum teknokratis atau mekanistik.
6. Makna Keseluruhan: Putusan sebagai Manifestasi Keadilan Ilahi
Jika dirumuskan secara filosofis, makna frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mencakup:
a. Keadilan bersumber pada nilai Ketuhanan
Keadilan bukan hanya konstruksi manusia, tetapi merupakan bagian dari kebenaran moral yang bersifat universal dan transenden.
b. Putusan hakim harus sejalan dengan moralitas agama dan kemanusiaan
Tidak cukup “legal”, tetapi juga harus “bermoral”.
c. Hakim memutus perkara dengan tanggung jawab spiritual
Karena setiap putusan menyangkut hidup manusia yang dianggap memiliki martabat ketuhanan.
d. Hukum Indonesia menolak positivisme ekstrem
Hukum tidak hanya teks undang-undang, tetapi juga suara keadilan berdasarkan nilai Ketuhanan.
e. Keadilan adalah tujuan tertinggi sistem peradilan
Dan Ketuhanan adalah kompas moralnya.
Frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung makna filosofis yang mendalam dalam konteks hukum Indonesia. Ia menegaskan bahwa keadilan tidak hanya dibangun atas dasar legal-formal, tetapi juga harus selaras dengan nilai moral, etika, dan spiritual bangsa yang berketuhanan. Dengan demikian Hukum Indonesia adalah hukum yang bermoral. Putusan hakim adalah keputusan yang harus dijalankan dengan kesadaran spiritual. Keadilan menurut negara adalah keadilan yang tidak dipisahkan dari nilai Ketuhanan. Frasa ini menjadikan sistem hukum Indonesia unik dan berbeda dari tradisi hukum sekuler Barat, karena menempatkan moral religius sebagai fondasi keadilan

Type and hit Enter to search

Close